Sejarah Perkembangan Bimbingan dan
Konseling di Amerika Serikat dan Di Indonesia
1. Perkembangan
Bimbingan dan Konseling Di Amerika Serikat
Bimbingan
dan Konseling sebagai profesi pertama kali lahir di Amerika pada awal abad XX,
yaitu ketika Frank Person membuka klinik di Boston untuk memberi pengarahan
kepada para pemuda memperoleh pekerjaan yang sesuai. Pada tahun 1950 an bidang
ini mengalami perkembangan yang sangat pesat, bukan hanya dalam bidang
pekerjaan tetapi merambah pada bidang-bidang pendidikan. Pada abad ke 20
bimbingan konselor belum ada di sekolah-sekolah, pada saat itu pekerjaan
konselor masih ditangani oleh para guru di sekolah, yang mana dalam pekerjaan
tersebut itu seorang guru memberikan layanan informasi, layanan bimbingan
pribadi, social, karir dan akademik.
Gerakan
bimbingan konseling di sekolah ini berkembang sebagai dampak dari revolusi
industry, dan keragaman latar belakang para siswa yang masuk ke sekolah-sekolah
negeri. Pada tahun 1898 Jasse B. Davis seorang konselor sekolah di Detroit
memulai memberikan layanan konseling pendidikan dan pendidikan di SMA. Pada
tahun 1907, dia diangkat menjadi kepala SMA di Grand Rapids, Michigan. Sehingga
ia memasukkan program bimbingan di sekolah tersebut.
Bimbingan dan
Konseling sebagai profesi pertama kali lahir di Amerika pada awal abad XX,
yaitu ketika Frank Person membuka klinik di Boston untuk memberi pengarahan
kepada para pemuda memperoleh pekerjaan yang sesuai. Pada tahun 1950 an bidang
ini mengalami perkembangan yang sangat pesat, bukan hanya dalam bidang
pekerjaan tetapi merambah pada bidang-bidang pendidikan. Rehabilitasi, kerumah
tanggaan, penanganan tindak kriminal, kenakalan remaja, juga di rumah sakit,
pabrik-pabrik dan bahkan di rumah militer.
Dari segi
wilayah geografi, bimbingan dan konseling tidak lagi tidak lagi terbatas hanya
di Amerika, tetapi berkembangan menjalar ke Eropa, Asia, Afrika, Amerika
Selatan dan Australia. Tahun 1970-1980 bimbingan dan Konseling masuk ke dalam
kurikulum Sekolah Menengah di negeri-negeri yang mengambil sistem pendidikan
Barat.
Munculnya Bimbingan dan Konseling
di Amerika pada awal abad XX merupakan tuntunan logis dari dinamika masyarakat
Amerika ketika itu. Sebagaimana diketahui bahwa pandangan hidup masyarakat
Amerika dan Barat pada umumnya bersumber dari budayanya yang sekuler dan
liberal. Oleh karena itu filosofi dari Bimbingan Konseling di sana juga tak
terlepas dari faham sekuler dan liberal.
Meskipun
konsepsi Bimbingan dan Konseling di Barat dilahirkan oleh para ahli yang tak
diragukan kapasitasnya, tetapi konsep-konsep yang boleh jadi cocok untuk
masyarakat Barat tidak otomatis dapat diterapkan pada masyarakat lain,
masyarakat Islam misalnya. Kesulitan menerapkan prinsip-prinsip Bimbingan dan
Konseling Barat di lingkungan masyarakat Islam disebabkan oleh falsafah hidup
yang berbeda, antara lain :
1.1 Jika
masyarakat Barat memisahkan Negara dan agama, masyarakat Islam tidak mengenal
pemisahan yang sebenarnya antara agama dan kehidupan, antara masjid dan
lapangan kerja. Bimbingan dan Konseling di masyarakat Islam harus berdiri
diatas prinsip keterpaduan antara agama dan kehidupan duniawi.
1.2 Masyarakat
Barat menganut kebebasan individual (dan kelompok yang sangat liberal,
tercermin pada pergaulan bebas, norma seksual yang sangat longgar asal tidak
mengganggu orang lain, sementara masyarakat muslim sangat menjunjung tinggi
kesucian perkawinan, kehormatan wanita, berbakti kepada orang tua yang sudah
renta, dan mengagungkan nila-nilai akhlak, iman dan takwa. Masyarakat Islam
tidak mengenal kebebasan individual dalam arti se bebas-bebasnya, karena
dibatasi oleh norma-norma tradisi, agama dan akhlak. Masyarakat muslim masih
menjungjung tinggi prinsip-prinsip berbakti kepada orang tua, sopan santun
social dan tradisi keagamaan.
1.3 Banyak
hal-hal yang di Barat tidak dipermasalahkan, tetapi pada masyarakat Islam
justeru hal itu diharamkan, misalnya; perjudian, perzinaan, homoseksual,
menyakiti orang tua, kekasih, tukar kunci dan sebagainya.
1.4 Pedekatan
Bimbingan dan Konseling yang dilakukan di Amerika sendiri menunjukan kegagalan,
seperti yang tercermin dalam angka statistik yang dikutip oleh Dr. Abd. Rahman
Isawi dan seruan kecemasan ahli-ahli sosial AS menyangkut masa depan generasi
mendatang.
Layanan
bimbingan di Amerika Serikat mulai diberikan oleh Jesse B. Davis pada sekitar
tahun 1898-1907. Beliau bekerja sebagai konselor sekolah menengah di Detroit.
Dalam waktu sepuluh tahun, ia membantu mengatasi masalah-masalah pendidikan,
moral, dan jabatan siswa. Pada tahun 1908, Frank Parsons mendirikan Vocational
Bureau untuk membantu para remaja memilih pekerjaan yang cocok bagi mereka.
Tahun 1910, William Healy mendirikan Juvenile Psychopathic Institut di Chicago.
Tahun 1911, Universitas Harvard memberikan kuliah bidang bimbingan jabatan
dengan dosennya Meyer Blomfield. Tahun 1912, Grand Rapids, Michigan mendirikan
lembaga bimbingan dalam sistem sekolahnya.
Tahun 1913 berdiri National
Vocational Guidance di Grand Rapids
Perkembangan
bimbingan dan konseling di Amerika Serikat sangat pesat pada awal tahun 1950.
Hal ini ditandai dengan berdirinya APGA (American Personal and Guidance
Association) pada tahun 1952. Selanjutnya, pada bulan Juli 1983 APGA mengubah
namnya menjadi AACD (American Association for Counseling and Development).
Kemudian, satu organisasi lainnya bergabung pula dengan AACD, yaitu Militery
Education (MECA). Dengan demikian, pada saat ini AACD merupakan organisasi
profesional bagi para konselor di Amerika Serikat, dengan 14 divisi (organisasi
khusus) yang tergabung di dalmnya. Di samping itu, pada setiap negara bagian
atau wilayah tertentu terdapat semacam cabang dari masing-masing organisasi
tersebut.
Sebagai suatu
organisasi profesi, AACD ataupun organisasi-organisasi divisinya mengeluarkan
jurnal-jurnal secara berkala. Jurnal-jurnal tersebut di antarnya (1) Journal of
Counseling and Development; (2) Journal of College Student Personnel; (3)
Counselor Education and Supervision; dan (4) The Career Development Quarterly.
Adapun tujuan
diadakannya program bimbingan di sekolah ini adalah agar siswa mampu:
a.
Mengembangkan karakternya yang
baik(memiliki nilai moral, ambisi, bekerja keras, dan kejujuran) sebagai asset
yang sangat penting bagi setiap siswa(orang) dalam rangka merencanakan,
mempersiapkan, dan memasuki dunia kerja (bisnis).
b.
Mencegah dirinya dari prilaku bermasalah.
c.
Menghubungkan minat pekerjaan dengan
kurikulum (mata pelajaran)
Dalam waktu yang
bersamaan, para ahli yang lainnya juga mengembangkan program yang sama dalam
hal bimbingan, seperti:
a. Eli Weaper, pada tahun 1906
menerbitakan booklet tentang “memilih suatu karir”. Dan dia berhasil membentuk
komite guru pembimbing di setiap sekolah menengah di New York. Komite ini aktif
bekerja untuk membantu para pemuda(remaja) dalam menemukan
kemampuan-kemampuannya dan belajar tentang bagaimana menggunakan atau mengembangkan
kemampuan-kemampuan tersebut dalam rangka menjadi seorang pekerja atau pegawai
yang produktif.
b. E.G Williamson, pada akhir tahun
1930 dan awal tahun 1940, ia menulis buku How to Counsel Students: A Manual of
Techniques for Clinical Counselors. Model bimbingan sekolah yang dikembangkan
oleh Williamson ini terkenal dengan nama trait and factor (directive) guidance.
Dalam model ini konselor menggunakan informasi untuk membantu siswa dalam
memecahkan masalahnya. Khususnya dalam bidang pekerjaan dan penyesuaian
interpersonal. Adapun peranan konselor dalam program ini bersifat direktif
dengan menekankan pada: 1) mengajar ketrampilan, 2) membentuk (mengubah) sikap
dan tingkah laku.
c. Carl R. Roger, ia mengembangkan
teori konseling clien- centered, yang tidak terfokus pada masalah, akan tetapi
sangat mementingkan hubungan antara konselor dengan kliennya. Pendekatan
konseling ini merupakan respon terhadap pendekatan konseling yang direktif
bersifat sempit dan terfokus kepada masalah.pendekatan atau teori konseling
Roger ini terangkum dalam dua bukunya, yaitu: Counseling and psycoterapy (1942)
dan Client- Centered Therapy (1951). Pada buku pertama, Roger memperkenalkan
pendekatan konseling nondirektif sebagai alternative layanan selain pendekatan
direktif. Roger berpendapat bahwa klien mempunyai tanggung jawab dalam
memecahkan masalah dan mengembangkan dirinya sendiri. Adapun dalam buku yang
kedua, terjadi perubahan semantic dari konseling nondirektif menjadi konseling
client- centered. Sejak tahun 1960-1970, teori ini menjadi model utama bagi
banyak konselor, baik di sekolah maupun di biro-biro kesehatan mental. Akan
tetapi, teori ini juga dipandang agak kaku untuk diterapkan di sekolah. Karena
ketidak puasan ini maka muncullah evolusi lebih lanjut dalam gerakan bimbingan
dan konseling di sekolah.
Pada tahun 1950,
terjadi peristiwa peluncuran sputnik I Uni Soviet. Yang mana peristiwa ini
sangat membuat warga Amerika Serikat cemas, karena mereka beranggapan bahwa
peristiwa ini merupakan isyarat tentang dominasi Uni Soviet dalam bidang
teknologi industry dan bidang ilmiah lainnya. Dalam merespon protes warga
tersebut, maka pada bulan September tahun 1958 kongres menyusun undang-undang,
termasuk undang-undang pertahanan pendidikan nasional (National Defense Education
Act.). undang-undang ini memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk
memberikan dana bagi pendidikan, seperti untuk pelatihan para konselor SLTP dan
SLTA, dalam mengembangkan program testing, program konseling sekolah, dan
progam bimbingan lainnya.
Pada tahun 1958
bulan September ini merupakan peristiwa penting (land mark) dalam dunia
pendidikan di Amerika, termasuk gerakan bimbingan dan konseling. Departemen
pertahanan pendidikan memberikan keuntungan khusus bagi pembimbingan generasi
muda dengan lima dari 10 seksi yanga ada. Kelima seksi ini merupakan kunci bagi
kemajuan pengembangan program bimbingan dan konseling.
Perkembangan
program bimbingan dan konseling di sekolah dipengaruhi juga oleh munculnya
berbagai organisasi professional dalam bidang konseling, seperti: (a) American
Counseling Association(ACA), (b) American School Counselor Association(ASCA),
(c) Association of Counselor Education and Supervision(ACES).
Organisasi-organisasi ini berupaya meningkatkan profesionalitas para konselor,
dengan meluncurkan program akreditasi dan sertifikasi.
Bradley pada
tahun 1980, menambah satu tahapan dari tiga tahapan tentang sejarah bimbingan
menurut Stiller, yaitu sebagai berikut:
a. Vocational
exploration, yaitu tahapan yang menekankan tentang analsis individual dan
pasaran kerja. Tahapan yang mencoba menjodohkan manusia dengan pekerjaan.
b. Meeting
Individual Needs, yaitu tahapan pada periode 40 s.d. 50-an yang menekankan pada
upaya yang membantu individu agar memperoleh kepuasan kebutuhan hidupnya. Perkembangan
bimbingan konseling, pada tahapan ini dipengaruhi oleh pendapat Maslow dan
Ronger, yaitu bahwa manusia memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri dan
memecahkan masalahnya sendiri.
c. Transisional
Professionalism, yaitu tahapan yang memfokuskan perhatiannya kepada upaya
profesionalisasi konselor.
d. Situational
Diagnosis, yaitu tahapan yang terjadi pada tahun 1970-an, sebagai periode
perubahan dan inovasi. Pada tahapan ini, ada penekanan yang lebih kepada
analisis lingkungan dalam proses bimbingan, dan gerakan untuk menjauhi
cara-cara terapeutik yang hanya terpusat pada diri individu.
Pada tahun
1980-an juga, Kowits mencatat lima gerakan bimbingan dalam pendidikan.
Perama, gerakan
penyesuaian hidup dengan memperhatikan persiapan vokasional, keragaman individual,
dan kurikulum.
Kedua, gerakan
perkembangan anak pada tahun 1920-an yang dipengaruhi oleh perkembangan teori
psikoanalitik, yang menyatakan pentingnya pengalaman masa anak sebagai dasar
perkembangan selanjutnya.
Ketiga, gerakan
yang melibatkan konsep guru konselor. Selama periode ini, guru dipandang
sebagai orang yang dapat memfasilitasi pencapaian tujuan bimbingan.
Keempat, gerakan
proyek atau program khusus yang menekankan tentang filsafat aktivisme sosial.
Kelima, gerakan
yang menaruh perhatian terhadap redefinisi tujuan bimbingan dan prinsip-prinsip
ilmiah bimbingan.
2. Sejarah
Perkembangan Bimbingan dan Konseling di Indonesia
Di Indonesia,
Pelayanan Konseling dalam system pendidikan Indonesia mengalami beberapa
perubahan nama. Pada kurikulum 1984 semula disebut Bimbingan dan Penyuluhan
(BP), kemudian pada Kurikulum 1994 berganti nama menjadi Bimbingan dan
Konseling (BK) sampai dengan sekarang. Layanan BK sudah mulai dibicarakan di
Indonesia sejak tahun 1962. Namun BK baru diresmikan di sekolah di Indonesia
sejak diberlakukan kurikulum 1975. Kemudian disempurnakan ke dalam kurikulum
1984 dengan memasukkan bimbingan karir didalamnya. Perkembangan BK semakin
mantap pada tahun 2001.
Kegiatan layanan
bimbingan dan konseling di Indonesia lebih banyak dilakukan dalam kegiatan
pendidikan formal di sekolah. Pada awal tahun 1960 di beberapa sekolah
dilaksanakan program bimbingan yang terbatas pada bimbingan akademis. Pada
tahun 1964, lahir Kurikiulum SMA Gaya Baru, dengan keharusan melaksanakan
program bimbingan dan penyuluhan. Tetapi, program ini tidak berkembang karena
kurang persiapan prasyarat, terutama kurangnya tenaga pembimbing yang
profesional. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka pada dasawarsa 60-an
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, dan diteruskan oleh Institut Keguruan
dan Ilmu Pendidikan (1963) membuka Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan yang
sekarang dikenal di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dengan nama Jurusan
Psikologi Pendidikan dan Bimbingan (PPB).
Dalam bidang
pendidikan, pada dekade 40-an lebih banyak ditandai dengan perjuangan
merealisasikan kemerdekaan melalui pendidikan. Melalui pendidikan yang serba
darurat mkala pada saat itu di upayakan secara bertahap memecahkan masalah
besar anatara lain melalui pemberantasan buta huruf. Sesuai dengan jiwa
pancasila dan UUD 45. Hal ini yang menjadi fokus utama dalam bimbingan pada
saat itu.
Pada dekade
50-an, bidang pendidikan menghadapi tentangan yang amat besar yaitu memecahkan
masalah kebodohan dan keterbelakangan rakyat Indonesia. Kegiatan bimbingan pada
masa dekade ini lebih banyak tersirat dalam berbagai kegiatan pendidikan dan
benar benar menghadapi tantangan dalam membantu siswa disekolah agar dapat
berprestasi.
Setelah dirintis
dalam dekade 60-an, bimbingan dicoba penataannya dalam dekade 70-an. Proyek
Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) membawa harapan baru pada pelaksanaan
bimbingan di sekolah karena staf bimbingan memegang peranan penting dalam
sistem sekolah pembangunan. Secara formal bimbingan dan konseling diprogramkan
di sekolah sejak diberlakukannya kurikulum 1975 yang menyatakan bahwa bimbingan
dan penyuluhan merupakan bagian integral dalam pendidikan di sekolah. Pada
tahun 1975 berdiri ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) di Malang. IPBI
ini memberikan pengaruh terhadap perluasan program bimbingan di sekolah.
Setelah melalui
penataan, dalam dekade 80-an, bimbingan diupayakan agar lebih mantap.
Pemantapan terutama diusahakan untuk mewujudkan layanan bimbingan yang
profesional. Upaya-upaya dalam dekade ini lebih mengarah pada profesionalitas
yang lebih mantap. Beberapa upaya dalam pendidikan yang dilakukan dalam dekade
ini adalah penyempurnaan kurikulum dari Kurikulum 1975 ke Kurikulum 1984. Dalam
kurikulum 1984, telah dimasukkan bimbingan karier di dalmnya. Usaha memantapkan
bimbingan terus dilanjutkan dengan diberlakukannya UU No. 2/1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Dalam Pasal 1 Ayat 1 disebutkan bahwa pendidikan adalah
usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya pada masa yang akan datang.
Penataan
bimbingan terus dilanjutkan dengan dikeluarkannya SK Menpan No. 84/1993 tentang
Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Dalam Pasal 3 disebutkan tugas
pokok guru adalah menyusun program bimbingan, melaksanakan program bimbingan,
evaluasi pelaksanaan bimbingan, analisis hasil pelaksanaan bimbingan, dan
tindak lanjut dalam program bimbingan terhadap peserta didik yang menjadi
tanggung jawabnya.
Selanjutnya,
pada tahun 2001 terjadi perubahan nama organisasi Ikatan Petugas Bimbingan
Indonesia (IPBI) menjadi Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN).
Pemunculan nama ini dilandasi terutama oleh pemikiran bahwa bimbingan dan
konseling harus tampil sebagai profesi yang mendapat pengakuan dan kepercayaan
publik.
2.1 Perkembangan
bimbingan dan konseling sebelum kemerdekaan
Masa
ini merupakan masa penjajahan Belanda dan Jepang, para siswa didiik untuk
mengabdi emi kepentingan penjajah. Dalam situasi seperti ini, upaya bimbingan
dikerahkan. Bangsa Indonesia berusaha untuk memperjuangkan kemajun bangsa
Indonesia melalui pendidikan. Salah satunya adalah taman siswa yang dipelopori
oleh K.H. Dewantara yang menanamkan nasionalisme di kalangan para siswanya.
Dari sudut pandang bimbingan, hal tersebut pada hakikatnya adalah dasar bagi
pelaksanaan bimbingan.
Periodesasi
pergerakan bimbingan dan konseling di Indonesia
Periodesasi
Peristiwa
Periode I dan II: Prawacana dan pengenalan (sebelum
1960-1970-an) Pada periode ini pembicaraan tentang bimbingan dan konseling
sudah dimulai, terutama oleh para pendidik yang pernah mempelajarinya diluar
negeri. Periode ini berpuncak dengan dibukanya jurusan Bimbingan dan penyuluhan
pada tahun 1963 di IKIP bandung(sekarang namanya UPI). Pembukaan ini menandai
dimulainya periode kedua yang secara tidak langsung memperkenalakan pelayanan
BP pada masyarakat akademik, dan pendidik. Sukses periode kedua in ditandai
dengan dua keberhasilan, yang diluluskannya sejumlah sarjana BP, dan semakin
dipahami dan dirasakan kebutuhan akan pelayanan tersebut.
Periode III: pemasyarakatan (1970-1990 an) Pada
periode ini diberlakunya kurikulum 1975 untuk sekolah dasar sampai sekolah
menengah tingkat atas. Kurikulum ini secara resmi mengintegrasikan ke dalamnya
layanan BP untuk siswa. Pada tahun ini terbentuk organisasi profesi BP dengan
nama IPBI (Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia). Pada periode ketiga ini
ditandai juga dengan pemberlakuan kurikulum 1984. Dalam kurikulum 1984 ini,
pelayanan BP difokuskan pada bidang-bidang karir. Dan pada periode ini muncul
beberapa permasalahan, seperti: (1) berkembangnya pemahaman yang keliru, yaitu
mengidentikan Bimbingan karir dengan Bimbingan Penyuluhan. (2) kerancuan dalam
mengimlementasikan SK Menpan No 26/Menpan/1989 terhadap penyelenggaraan layanan
bimbingan di sekolah. Dalam SK tersebut terimplikasi bahwa semua guru dapat
diserahi tugas melaksanakan pelayanan BP. Akibatnya pelayanan BP menjadi kabur,
baik pemahaman maupun implementasinya.
Periode IV: konsolidasi(1990-2000) Pada periode ini
IPBI berusaha keras untuk mengubah kebijakan bahwa pelayanan BP itu dapat
dilaksanakan oleh semua guru (seperti terjadi pada periode ke empat di atas).
Pada periode ini ditandai oleh (1) diubahnya secara resmi kata penyuluhan
menjadi konseling.(2) pelayanan BK di sekolah hanya dilaksanakan oleh guru
pembimbing yang secara khusus ditugasi untuk itu. (3) mulai diselenggarakan
penataran(nasional dan daerah) untuk guru-guru pembimbing.(4) mulai adanya
formasi untuk pengangkatan menjadi guru pembimbing.(5) pola pelayanan BK di
sekolah dikemas dalam BK pola 17, dan (6) dalam bidang kepengawasan sekolah
dibentuk kepengawasan bidang BK. (7) dikembangkannya sejumlah panduan pelayanan
BK di sekolah yang lebih operasional oleh IPBI.
Periode V: lepas landas Semula diharapkan periode
konsolidasi akan dapat mencapai hasil-hasil yang memadai, sehingga mulai pada
tahun 2001 profesi BK di Indonesia sudah dapat tinggal landas. Namun kenyataan
menunjukkan bahwa masih ada permasalahan yang belum terkonsilidasi, yang
berkenaan dengan sumber daya manusia(SDM). Kelemahannya berakar dari kondisi
untrained, undertrained, dan uncommitted para pelaksana layanan. Walaupun
begitu pada tahun-tahun setelah masa konsolidasi terdapat beberapa peristiwa
yang dapat dijadikan tonggak bagi pengembangan profesi konseling menuju era
lepas landas, yaitu: (1) penggantian nama organisasi profesi dari IPBI menjadi
ABKIN (Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia),(2) lahirnya undang-undang
No 20 tahun 2003 tentang system pendidikan nasional, yang dimuat di dalamnya
ketentuan bahwa konselor termasuk salah satu jenis tenaga pendidik (bab1 ayat
4). (3) kerjasama pengurus besar ABKIN dengan dikti Depdiknas tentang standarisasi
profesi konseling.(4) kerjasama ABKIN dengan direktorat PLP dalam merumuskan
kompetensi guru pembimbing(konselor) SMP dan sekaligus memberikan pelatihan
kepada mereka.
Sejarah lahirnya Bimbingan dan Konseling di
Indonesia diawali dari dimasukkannya Bimbingan dan Konseling (dulunya Bimbingan
dan Penyuluhan) pada setting sekolah. Pemikiran ini diawali sejak tahun 1960.
Hal ini merupakan salah satu hasil Konferensi Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan (disingkat FKIP, yang kemudian menjadi IKIP) di Malang tanggal 20
&; 24 Agustus 1960. Perkembangan berikutnya tahun 1964 IKIP Bandung dan
IKIP Malang mendirikan jurusan Bimbingan dan Penyuluhan.
Tahun 1971 beridiri Proyek Perintis Sekolah
Pembangunan (PPSP) pada delapan IKIP yaitu IKIP Padang, IKIP Jakarta, IKIP
Bandung, IKIP Yogyakarta, IKIP Semarang, IKIP Surabaya, IKIP Malang, dan IKIP
Menado. Melalui proyek ini Bimbingan dan Penyuluhan dikembangkan, juga berhasil
disusun Pola Dasar Rencana dan Pengembangan Bimbingan dan Penyuluhan pada PPSP.
Lahirnya Kurikulum 1975 untuk Sekolah Menengah Atas didalamnya memuat Pedoman
Bimbingan dan Penyuluhan.
Kurikulum 1975 berisi layanan Bimbingan dan Konseling
sebagai salah satu dari wilayah layanan dalam sistem persekolahan mulai dari
jenjang SD sampai dengan SMA, yaitu pembelajaran yang didampingi layanan
Manajemen dan Layanan Bimbingan dan Konseling. Pada tahun 1976, ketentuan yang
serupa juga diberlakukan untuk SMK. Dalam kaitan inilah, dengan kerja sama
Jurusan Bimbingan dan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Malang, pada
tahun 1976 Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan menyelenggarakan pelatihan dalam penyelenggaraan pelayanan bimbingan
dan konseling untuk guru-guru SMK yang ditunjuk. Tindak lanjutnya memang tidak
diketahui perkembangannya, karena para kepala SMK kurang memberikan ruang gerak
bagi alumni pelatihan Bimbingan dan Konseling tersebut untuk menyelenggarakan
layanan bimbingan dan konseling sekembalinya mereka ke sekolah masing-masing.
Dan dengan penetapan jurusan yang telah pasti sejak kelas I SMK, memang agak
terbatas ruang gerak yang tersisa, misalnya untuk melaksanakan layanan
bimbingan karier.
Meskipun ketentuan perundang-undangan belum
memberikan ruang gerak, akan tetapi karena didorong oleh keinginan kuat untuk
memperkokoh profesi konselor, maka dengan diplopori oleh para pendidik konselor
yang bertugas sebagai tenaga akademik di beberapa LPTK, pada tanggal 17
Desember 1975 di Malang didirikanlah Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI),
yang menghimpun konselor lulusan Program Sarjana Muda dan Sarjana yang bertugas
di sekolah dan para pendidik konselor yang bertugas di LPTK, di samping para
konselor yang berlatar belakang bermacam – macam yang secara de facto bertugas
sebagai guru pembimbing di lapangan.
Ketika ketentuan tentang Akta Mengajar diberlakukan,
tidak ada ketentuan tentang ”Akta Konselor”. Oleh karena itu, dicarilah jalan
ke luar yang bersifat ad hoc agar konselor lulusan program studi Bimbingan dan
Konseling juga bisa diangkat sebagai PNS, yaitu dengan mewajibkan mahasiswa
program S-1 Bimbingan dan Konseling untuk mengambil program minor sehingga bisa
mengajarkan 1 bidang studi. Dalam hal itu IPBI tetap mengupayakan kegiatan
peningkatan profesionalitas anggotanya antara lain dengan menerbitkan
Newsletter sebagai wahana komunikasi profesional meskipun tidak mampu terbit
secara teratur, di samping mengadakan pertemuan periodik berupa konvensi dan
kongres.
Untuk jenjang SD, pelayanan bimbingan dan konseling
belum terwujud sesuai dengan harapan, dan belum ada konselor yang diangkat di
SD, kecuali mungkin di sekolah swasta tertentu, tetapi pelaksanaan bimbingan
dilakukan secara inplisit dalam program pendidikan. Untuk jenjang sekolah
menengah, posisi konselor diisi seadanya termasuk, ketika SPG di-phase out
mulai akhir tahun 1989, sebagian dari guru-guru SPG yang tidak diintegrasikan
ke lingkungan LPTK sebagai dosen Program D-II PGSD, juga ditempatkan sebagai
guru pembimbing, umumnya di SMA.
Di awal tahun 1960, muncul tenaga konselor di SD,
yang kemudian pada tahun 1975, berdasarkan hukum publik 94-145, Pemerintah
Amerika,menyediakan dana khusus untuk melayani anak-anak penyandang
cacat,sehingga banyak daerah yang memasukkan tenaga Konselor di sekolah-sekolah
terutama tingkat dasar dan menengah.Pengaruh kuat lainnya datang dari
organisasi profesi, yaitu: Asosiasi Konseling Amerika (ACA),Asosiasi Konselor
Sekolah Amerika (ASCA), dan Asosiasi Pendidikan Konselordan Supervisi (ACES)
(Wittmer, 1993). Para anggota organisasi ini berupaya menggerakkan para
profesional untuk mengembangkan aturan-aturan seperti program akreditasi dan
sertifikasi. Sehingga secara berangsur-angsur konseling sekolah menjadi lebih
profesional, dan utuh baik di sekolah maupun di lingkungan masyarakat.
Dengan diberlakukannya Kurikulum 1994, mulailah ada
ruang gerak bagi layanan ahli bimbingan dan konseling dalam sistem persekolahan
di Indonesia, sebab salah satu ketentuannya adalah mewajibkan tiap sekolah
untuk menyediakan 1 (satu) orang konselor untuk setiap 150 (seratus lima puluh)
peserta didik, meskipun hanya terealisasi pada jenjang pendidikan menengah.
Sejumlah hal dilakukan sebagai konsolidasi profesi
sedhingga Bimbingan dan konseling menjadi profesi yang utuh dan berwibawa
antara lain kata penyuluhan menjadi konseling, BK di sekolah hanya dilakukan
oleh guru Pembimbing, dan lain sebagainya. Pada tahun 2001 dalam kongres di
Lampung Ikatan Pertugas Bimbingan Indonesia (IPBI) berganti nama menjadi
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN).
Daftar
Pustaka
Prayitno dan Amti, Erman. 2004. Dasar-Dasar
Bimbingan dan Konseling. Jakarta:Rineka Cipta.
Sukardi, Dewa Ketut. 2008. Pengantar Pelaksanaan
Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.
Walgito,
Bimo. 2004. Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Yogyakarta : Penerbit Andi.
Winkel, W.S. 2005. Bimbingan dan Konseling di
Intitusi Pendidikan. Edisi Revisi. Jakarta: Gramedia.
0 komentar:
Posting Komentar