Konseling
sebagai Helping Relationship
Sebagai makhluk sosial,
manusia tak pernah luput berhubungan dengan manusia lain di sekitarnya. Bentuk
hubungan antar manusia tersebut bermacam-macam, salah satunya adalah hubungan
membantu. Setiap individu pernah memberikan bantuan atau menerima bantuan,
meskipun dengan cara dan maksud tertentu pemberian/penerimaan bantuan tersebut
dilakukan. Dari sekian banyak hubungan membantu yang ada dan dilakukan oleh
banyak orang, konseling merupakan salah satu bentuk hubungan membantu yang dilakukan
oleh professional.
Suatu hubungan helping ditandai
oleh ciri-ciri dasar tertentu. Pandangan Brauce Shertzer dan Shally C. Stone,
yang diadaptasikan disini, mengenai ciri-ciri hubungan helping adalah:
1. Hubungan
helping adalah penuh makna, bermanfaat.
2. Afeksi
sangat mencolok dalam hubungan helping.
3. Keutuhan
pribadi tampil atau terjadi dalam hubungan helping.
4. Hubungan
helping terbentuk melalui kesepakatan bersama individu-individu yang terlibat.
5. Saling
hubungan terjalin karena individu yang hendak dibantu membutuhkan informasi,
pelajaran, advis, bantuan, pemahaman dan atau perawatan dari orang lain.
6. Hubungan
helping dilangsungkan melalui komunikasi dan interaksi.
7. Upaya
yang bersifat kerja sama (collaborative) menandai hubungan helping.
8. Orang-orang
dalam helping dapat dengan mudah ditemui atau didekati (approachable).
9. Perubahan
merupakan tujuan hubungan helping.
Pada dasarnya, hubungan
antara konselor dan klien pada proses konseling merupakan hubungan pemberian
bantuan yang bersifat professional dan memiliki keunikan sendiri. Profesional
dalam hal ini dikarenakan didasarkan pada pengetahuan khas, menerapkan suatu
teknik intelektual dalam suatu pertemuan khusus dengan orang lain (klien) agar
klien tersebut dapat lebih efektif menghadapi dilema, pertentangan-pertentangan
atau konflik yang terjadi dalam dirinya. Keunikan ini tercermin pada kekhususan
karakteristik yang terjadi antara konselor dan klien. Kekhususan ini dapat
dilihat dari sasaran yang dibantu oleh konselor, metode hubungannya dan masalah
yang dihadapi oleh klien. Adapun cara dalam membangun hubungan konseling yaitu:
a)
Objektif/Subjektif
Cara untuk melihat hubungan adalah dari keseimbangan
objektivitas dan subjektifitas (Oppenheimer 1954). Keseimbangan ini mengacu
pada tingkat emosional dan hal-hal yang mempengaruhi intelektual dan elemen
emosional. Objektivitas mengacu pada lebih kognitif, scientific dan generiknya
suatu hubungan. Di mana klien dianggap sebagai obyek belajar atau sebagai
bagian dari penderitaan manusia yang luas. Oleh karena itu, konselor akan
memberikan pandangan kepada klien dan nilai-nilai tanpa penilaian pribadi. Arti
perilaku konselor untuk klien adalah bahwa mereka merasa konselor menghormati
pandangan mereka, tidak memaksakan gagasan-nya pada mereka, dan melihat masalah
mereka rasional dan analitis. Mereka ingin konselor untuk terlibat secara
emosional dan menjadi pribadi yang bersangkutan tentang mereka.
Elemen subjektif dimaksudkan adalah sikap kehangatan
dan psikologis kedekatan serta keterkaitan yang mendalam pada masalah klien.
Perilaku ini sering digambarkan sebagai kepedulian. Sebaliknya, beberapa klien
menganggap keterlibatan konselor sebagai ancaman, karena mereka adalah
“mengirimkan” untuk kontrol atau “mengungkapkan” diri orang lain. Seorang klien
melihat konselor, sebagai seorang ibu yang penuh kasih sayang atas kebutuhan
klien tersebut. Sifat interaksi emosional tampaknya menjadi variabel kunci yang
menentukan kualitas hubungan, atau pertemuan. Dalam konseling objektivitas dan subjektivitas
haruslah harmonis, di mana konselor mengoperasikan dua posisi dan menggabungkan
kedua elemen tersebut. Objektivitas diperlukan dalam mendiagnosa, sementara
subjektivitas diperlukan dalam membangun suasana/iklim konseling itu sendiri.
b)
Kognitif/Afektif
Elemen hubungan kognitif mengacu kepada
intelektualitas seperti bertukar informasi. Sedangkan unsur-unsur afektif
mengacu pada ekspresi perasaan dan perubahan, konselor harus tahu kapan untuk
mendorong pengujian rasional pada klien dan interpretasi masalah klien dan
kapan harus mendorong eksplorasi perasaan dan hubungan ide-ide mereka. Menurut
Grater (1964) klien memilih konselor yang mempunyai karakter kognitif dan
afektif.
c)
Ambiguitas/kejelasan
Bordin (1955), menyatakan ambiguitas merupakan
karakteristik dari suatu situasi stimulus di mana orang-orang merespon secara
berbeda dan tidak ada respon yang jelas ditunjukkan. Hubungan konseling adalah
kabur dan ambigu untuk klien. Ambiguitas melayani fungsi yang memungkinkan
klien untuk proyek perasaan ke dalam situasi konseling. Proses memproyeksikan
perasaan klien bantu untuk menjadi sadar dan peduli tentang perasaan mereka,
sehingga memungkinkan konselor untuk mengetahui dan berurusan dengan mereka
melalui memperjelas teknik konseling. Terlalu banyak ambiguitas pada klien
menyebabkan keanehan dalam berhubungan di mana klien harusnya merasa aman dan
terstruktur dalam hubungannya.
Ada beberapa kebingungan dalam hubungan jika
konselor terlalu menjelaskan kepribadian kepada klien atau menjadi terlalu
akrab dengan klien. Misalnya, konselor berperilaku lebih seperti seorang teman
dibanding seorang konselor. Jika konselor terlalu ramah dengan klien dalam arti
bahwa mereka membiarkan diri mereka dikenal terlalu dini serta-digambarkan
kepribadian.
Konselor akan menemukan bahwa mereka merasa
terdorong untuk “bertindak sendiri” terlalu kuat dalam situasi wawancara. Jadi,
wawancara mungkin didorong dalam arah pembicaraan sosial atau pertemanan yang
intim. Isu ini merupakan kontroversial, karena ada beberapa literatur yang
menekankan pada pentingnya seorang konselor untuk bersikap ramah dengan klien
d)
Responsibel/akuntabel
Tanggung jawab atau menerima klien dalam hubungan
konseling menyiratkan kesediaan pada akuntabilitas dari konselor untuk memikul
beberapa tanggung jawab atas hasil konseling dan beberapa kesediaan untuk
berbagi dalam masalah klien. Klien memiliki tanggung jawab juga, yang mereka
menganggap sebagian besar itu adalah masalah mereka dan perilaku yang
dipertaruhkan. Konselor berbeda dalam penafsiran mereka tentang tanggung jawab.
Kami merasa bahwa konselor tidak bertanggung jawab untuk menjalankan hidup
klien atau memilih nasihat. Bahwa klien bertanggung jawab untuk menetapkan
tujuan konseling karena dia memiliki masalah. Konselor mempunyai lebih banyak
pengaruh dari yang mereka sadari karena mereka mempunyai kekuasaan dan status
sebagai penyembuh. Tanggung jawab konselor untuk masyarakat yang lebih luas
dibahas pada bagian berikutnya pada etika.
Langkah-Langkah
Dalam Hubungan Membantu
Untuk menjelaskan langkah-langkah dalam hubungan membantu ini, Gerard
Egan dalam Brammer (1998) mencontohkan struktur tiga model berpengaruhnya,
yatu: (1) langkah 1, what’s going on? Membantu klien untuk memperjelas hal-hal
penting yang meminta perubahan; (2) Langkah 2: what solution can make sense for
me? Membantu klien menentukan hasil; (3) langkah 3, what do I have to get what I need and I want?
Membantu klien mengembangkan strategi-strategi untuk memenuhi tujuan.
Gerard kemudian mengubahnya menjadi; membangun
hubungan membantu dan explorasi; mengembangkan pemahaman baru dan menalarkan
perspektif berbeda; dan tindakan- membantu klien untuk mengembangkan dan
menggunakan strategi.
Daftar Pustaka
Sugiharto, D.Y.P. dan Mulawarman. 2007. Psikologi
Konseling. Semarang: Unnes Press.
Latipun, Psikologi Konseling (Malang:
universitas Muhammadiah Malang: 2001)
Sofyan S. willis. Konseling Individual
Teori dan Praktek (Bandung: Alfabeta: 2004)
http://karyaboy.blogspot.com/2007/12/konseling-kedaerahan.html.
0 komentar:
Posting Komentar